Sabtu, 03 Mei 2014

Noda Pikir Generasi
Karya : Risa Saiza


Tegak menjulang puncak menara
Bertumpu pada ibu kota tercinta
Dengan gedung megah dan selaksa kencana perak
Bergerilya dalam ranah dunia dengan alasan yang sama
“Demi perkembangan bangsa dan negara”
 
Terus saja guncangan sistem memilah milih proses penentuan ilmu
Demi kemajuan dunia pendidikan
Lagi-lagi alasannya perkembangan
Sementara peserta didik semakin dibuat terengah-engah
Ini belum selesai, telah berlanjut cara yang baru
 
Kurikulum baru, ilmu lama, sistem baru
Tidak banyak yang berubah
Aset terakhir penentuan tetap jua satu, “Ujian Akhir Nasional”
Lalu dibawa kemana kemegahan gedung di ibu kota?
Ketika sistem yang terus berubah tak membawa dampak bagi mereka yang jelata
Lalu apa guna segala teror pendidikan?
Jika hanya bisnis dan permainan politik yang menguat belaka
 
Ah ilmuku..
Kewajiban menuntutmu tak lagi karena keikhlasan
Tak lagi demi bangsa dan Indonesia
Noda pikir generasi semakin kelam semakin gelap
Berpikir demi harta dan tahta
Lalu dimana apresiasi terhadap para pahlawan revolusi?
Penyelamat bangsa dari jajahan tanah air lain
Sulit, sulit sekali menyelamatkan dunia cinta pendidikan
Jika jabatan terus saja menjadi ancaman
Mengganti pendidikan dengan nilai yang tidak signifikan
 
Generasi muda, kita terus saja merasa diteror pendidikan
Lalu mengapa tidak? Kita bangkit dan membunuh teror-teror itu
Meluruskan kembali nilai jual pendidikan
Bukan karena harta dan jabatan
Namun karena kita cinta pendidikan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Jumat, 07 Juni 2013

Dentuman Kasih _Risa Saiza_


Aku melepasmu dengan kepedihan

diantara deru lonceng dan suara para laskar

Aku menggertak geraham untuk menahan amarah

seakan engkau akan dicincang dalam gua belukar

sesak memang

tapi katamu ini untuk masa depan

kuikhlaskan kanda berjalan menuju impian

sampai sosokmu lenyap baru kau kutinggal

sampai aku terpaksa harus kuat membalikkan diri 

sampai aku menjauhi tempat pengabdianmu

sabarlah hati 

Nikmati dentuman kasih 

mari kita kepakkan sekeping 

bahkan berkeping kerinduan ini

dalam kelapangan dan rasa taqwa

biar doa menjadi pengikat raga

biarkan bara cinta menguatkan rasa di jiwa

biarkan jarak dan waktu menjadi penopang rasa ingin bersatu

membentuk masa depan kita

meninggalkan masa lalumu

meninggalkan masa laluku

hingga yang tersisa adalah kita

bukan hanya kau

bukan pula hanya aku



Minggu, 26 Mei 2013

Solusi? Yes! Tersangka? No!


Solusi? Yes! Tersangka? No!
Oleh : Risa Saiza


Abad semakin maju dan zaman semakin berkembang. Perkembangan ini membuat dunia semakin bersaing untuk lebih maju, berkembang, bermutu, dan mandiri. Setiap negara berpacu menjadi yang terbaik dalam segala aspek. Indonesia menjadi salah satu negara yang turut andil dalam pacuan ini.
Pendidikan menjadi aspek utama atau induk dari semua aspek yang mengikutinya. Semakin bagus pendidikan suatu bangsa, semakin bagus pula rancangan aspek sosial, budaya, politik serta ekonomi karena dipengaruhi pola pikir hasil asahan dunia pendidikan.
Pentingnya pendidikan membuat pemerintah harus merancang berbagai sistem untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas mutu pendidikan, baik dari sarana maupun prasarana. Mulai dari perubahan kurikulum yang begitu signifikan tanpa adanya pembakuan kurikulum, peningkatan mutu pendidikan pendidik (guru), sampai sistem Ujian Nasional yang mencekik ketakutan anak bangsa.
Pertama, kita akan mengkaji kurikulum yang belum memiliki pembakuan. Di Indonesia terjadinya perubahan kepengurusan, maka berubah pula sistem dan rancangan. Indonesia tidak membakukan sistem lama dan menambahkan unsur baru pada pemerintahan yang baru, namun cenderung membongkar yang lama dan menciptakan yang baru, sehingga terkesan sibuk bongkar pasang tanpa mencerna hasil yang ingin dicapai. Kita tilik dari kurikulum 1994, KBK, kemudian KTSP, Kurikulum Berkarakter, dan sekarang kembali muncul isu perubahan kurikulum menjadi kurikulum 2013. Tujuan semua rancangan yang ditetapkan sama, yaitu meningkatkan mutu pendidikan. Lalu bagaimana sebuah tujuan dari setiap kurikulum itu akan tercapai jika satu rancangan saja belum sempurna tersosialisasi sudah terjadi pembaharuan kembali.
Pihak yang terkait harus lebih membuka mata terhadap hal ini. Tidak hanya melihat kemajuan di perkotaan yang sarana dan prasarananya lebih memadai dan lebih mudah tersosialisasi. Mereka yang berada di daerah terpencil juga membutuhkan sosialisasi yang mendalam terhadap berbagai sistem baru yang diterapkan karena mereka juga harus menyesuaikan pula dengan kondisi dan situasi pendidikan di sana, baik dari segi siswanya, segi lingkungannya, maupun dari segi kualitas pembangunannya.
Selanjutnya kita melaju kepada guru. Untuk meningkatkan mutu peserta didik, guru turut pula dipacu mutunya. Berbagai penataran, seminar, pelatihan wajib diikuti guru. Berbagai tes, ujian, dan syarat seorang guru diikuti untuk menjadi guru yang profesional. Namun upaya ini harus lebih ditingkatkan agar guru-guru terus menjadi lebih baik dan meningkat mutunya.
Terakhir kita beralih kepada UN yang menjadi topik terheboh disetiap tahunnya. Anak-anak bersekolah sejak dini dan diajarkan dari cara mengenal huruf sampai kepada ilmu yang berwawasan lebih luas. Tidak bisa dipungkiri, guru merupakan dalang dari ilmu-ilmu yang diterima sang siswa. Guru berperan penting dalam pengembangan wawasan si anak. Bertahun-tahun ia bersekolah, guru mengajarkan berbagai hal yang telah ditetapkan oleh kurikulum dalam acuan nasional. Tujuan guru semuanya sama, hanya ingin anak didiknya mampu menguasai ilmu tersebut dan dapat mengapresiasikannya dalam kehidupan, kemudian bisa lulus dengan membanggakan sehingga dapat menjadi anak-anak yang dapat memajukan diri sendiri,keluarga, saudara,lingkungan,dan bangsa. Guru akan memberikan ilmu apapun yang ia miliki, namun tidak meminta sepeserpun apa yang telah diraih oleh anak didiknya ketika ia sukses. Tapi sangat disayangkan, saat ini rasa hormat terhadap seorang pendidik semakin berkurang. Terlebih bila hal ini menyangkut UN.
Pada masa-masa awal sekolah guru tidak henti membangun dan menyadarkan siswa-siswanya terhadap rintangan yang akan dihadapinya beberapa tahun yang akan datang. Guru terus membimbing, membina dan mengembangkan semangat serta potensi anak didiknya untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk dalam perjalanan meraih ilmunya. Namun amat disayangkan, ketika seorang anak tetap lalai dan tidak mau berusaha walau berkali-kali dirangkul oleh gurunya, guru dijadikan tersangka pertama dalam kegagalan ini. Mungkin mereka lupa, bahwa masih ada kesadaran diri sendiri, orang tua, saudara, teman-teman, dan juga lingkungan yang turut berperan penting dalam kesuksesan seseorang. Jelas semuanya berperan, tidak hanya terfokus pada guru dan sekolah saja.
Hal yang selama ini dilupakan adalah bahwa guru juga hanyalah manusia biasa. Guru tidak dapat merubah segala sesuatunya hanya dengan simsalabim, demikian pula dengan kesuksesan si anak. Try out telah dilakukan berulang-ulang, soal-soal latihan telah dikerjakan bersama, motivasi dan dorongan terus dilakukan, transfer ilmu dengan berbagai materi dan praktek juga dilakukan.  Namun tetap guru menjadi tersangka kegagalan si anak tanpa melihat pada aspek lainnya.
Masalah ini tidak akan selesai jika kita hanya melihat dari sisi negatif dan hanya mampu menyalahkan tanpa melihat unsur-unsur positif. Alangkah lebih bijaknya jika kita sama-sama kembali terus mempersiapkan diri dan mengingat kembali setiap petuah yang telah diberikan. Tidak menyia-nyiakan berhari-hari yang masih bisa dilalui sebelum menghadapi UN, karena setiap pihak bertanggung jawab dalam hal ini. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan kesadaran diri sangat menentukan kemajuan dan kesuksesan tujuan sistem yang sudah ditetapkan.
Hal lain yang masih menjadi penghambat yaitu skill. Jika kita menekankan seseorang harus bisa terhadap hal yang tidak disukainya, akan menyulitkan anak tersebut menguasai pelajaran tersebut. Sebagai solusi, kita lihat pendidikan di beberapa negara luar yang lebih mengutamakan skill dari pada ijazah sehingga si anak sejak dini telah memperoleh pendidikan untuk mengembangkan bakatnya serta dapat sukses sesuai kemampuan dan minatnya sendiri tanpa tekanan, ketakutan, dan paksaan. Jadi, jika kita tidak mampu menolak sistem yang telah ditetapkan, marilah kita membantu menciptakan kesuksesan tujuan pendidikan itu sendiri demi meningkatkan mutu generasi bangsa yang berjiwa jujur, cerdas, dan berakhlak mulia.

Aku dan Tuhanku


Aku dan Tuhanku
Risa Saiza



Tuhan!
Aku hilang, pendar dalam lelehan bara
Nelangsa menghujam lara dada

Tuhan!
Aku berkubang dosa , malu kumenjamahi-Mu
Masihkah Engkau sudi menatapku?
“Tidak”..

Mengapa tidak? Aku ingin kembali Tuhan..
Langkahku menuju-Mu
Jangan kau tolak
Siapa lagi yang akan menerimaku
Sedang bumi benci dipijakiku
Lalu langit tak memberiku sedikit kasih
Di tengah jagat-Mu pun kutak kuasa merambat.

Tuhan!
Bukankah cinta-Mu sejati, kasih-Mu abadi?
“Ya”…

Lalu? Mengapa jejak ini kau hapus dan menutup gerbangku?
“Karena jeratmu dengan kaummu belum kau tuntaskan..
Karena amarah dan salahmu masih menjelma di muka dunia”

Akan kuabdikan diri Tuhanku
Panahku kan kubidik pada hati yang telah kusakiti
Setelah itu, terimalah sujudku kembali
Aku akan memulai dari hati ke hati
Dengan mereka yang kudurhakai

Senin, 20 Mei 2013

Darah Lena


Darah Lena
“Ustazah, lihat ni dia!”
“ Jangan nakal Tina!”
“Ustazah, Reza ambil-ambil buku kami.”
“ Ayo Za, kembalikan buku Ika.”
“ Ustazah, Wardani ganggu-ganggu.”
“ Wardani, nanti kawannya nangis.”
            Huft, kesabaranku sering sekali terkuras menghadapi peri-peri kecilku dan putra-putra kebangganku di surau tempatku mengajar setiap sorenya. Aku selalu menenangkan hatiku yang kerap emosi dengan tingkah mereka melalui bahasa batinku, “ Ayolah Za, bersabarlah sedikit lagi, bukan anak-anak namanya kalau tidak bandel, ingatkan masa kecilmu dulu?”
            Aku bergelut dengan batinku untuk menyabarkan hatiku. Hal itulah yang mempertahankanku di sini, meski terkadang godaan selalu mengusik mempermainkan fikiranku untuk meninggalkan mereka. Tidak, teriak batinku saat nafsu itu kembali hadir. Bagaimana pun juga anak-anak itu adalah penerus generasi mujahid yang harus kubina sejak dini. Jika setiap ustazah akan melemah ketika menghadapi anak-anak nakal, siapa lagi yang dapat membantu mereka menuju kebenaran? Maka, di sinilah tempatku bersama keluguan-keluguan anak-anakku.
“ Ayo, sekarang tutup Qurannya semua, kita sambung dengan belajar kitab.”
“ Ustazah, Lia enggak bawa kitab.” Salah satu santriku ini sangat rajin melupakan kitabnya untuk dibawa mengaji, padahal setiap pengajian selesai mereka selalu kunasehati untuk menyiapkan perlengkapan mengaji di dalam sebuah tas khusus.
“ Ya sudah, ini pinjam punya Ustazah dulu, sekarang semuanya buka halaman 20 ya.”
            Aku melihat binar di mata mereka setiap jadwal pulang tiba. Yah, semua anak-anak akan sangat senang bila bisa berhenti dari rutinitas belajarnya, karena di dalam fikirannya hanya ingin bersenang-senang.
Libur sabtu dan minggu kumanfaatkan sebaik-baiknya, Aku benar-benar meringankan fikiranku untuk menghadapi kembali rutinitas senin sampai jumatku, bersama kuliahku dan bersama santri-santriku. Ketika kukembali, tak pernah kuabsen menanyakan kegiatan liburan mereka untuk sedikit memberi kasih sayang melalui perasaan “merasa diperhatikan”.
“ Gimana liburannya kemarin? Menyenangkan tidak?”
“ Sangat ustazah, Lili kemarin pergi ke Brayeun sama ummi abi, airnya deras sekali, tapi Lili bisa berenang”.
“ Kalau Oji kemarin bantuin mama jualan ustazah, gorengannya mama laku semua, habis dibeli sama orang-orang”.
Kebahagiaan selalu terpancar dari balik bola mata polos mereka, dan perhatian-perhatian kecil itu membuat mereka merasa mendapatkan kasih sayang yang sama. Aku sering mendengar mereka membandingkan ustazah ini dan ustazah itu hanya karena terkadang mereka harus dimarahi karena sikapnya yang buruk, tak terkecuali aku. Namun bagiku, memarahi tanpa mengisinya dengan cinta tidak akan membuat mereka termotivasi untuk berubah. Namun tiga hari ini kulihat Lena selalu murung dan tidak bersemangat seperti biasanya. Hatiku tergerak untuk mencari tahu apa yang sedang difikirkannya. Sore itu kuberanikan diri menyapanya sepulang pengajian.
“ Lena, belum dijemput ya?”
“ Belum ustazah”.
“ Biar ustazah temenin ya, ini ustazah ada kue, dimakan ya!”
“ Enggak ustazah, makasi ya, Lena enggak lapar, enggak selera makan.”
“ Loh, kok enggak mau? Kan ini kue kesukaannya Lena. Lena enggak selera pasti karena ada yang dipikirin ya? Ayo, cerita sama ustazah ya biar hatinya tenang, mungkin ustazah bisa bantu.”
Lena tidak merespon pertanyaanku, ia kembali sibuk dengan lamunannya, wajahnya kembali murung. Aku khawatir melihat Lena yang tidak biasanya seperti ini.
“ Kenapa sayang? Ayo cerita, enggak apa-apa kok, ustazah janji ini bakalan jadi rahasia kita berdua, kelingkingnya Lena mana? biar kita janji!”
Perkataanku mulai menarik perhatiannya, Lena memberikan tangannya dan mulai mencoba bercerita dengan takut-takut.
“ Ustazah janji ya, jangan cerita ke siapa-siapa.”
“ Iya,ustazah janji, kitakan friend”, kuberikan senyum simpul termanisku agar ia percaya.
“ Gini ustazah, Lena enggak lama lagi mau meninggal, hidup Lena sedikit lagi, tapi Lena takut nanti malaikat cabut nyawa Lena keras-keras, kan kata ustazah kalau kita bandel-bandel nanti pas mau meninggal malaikat cabut nyawa kita kasar, Lena belum berani ketemu malaikat ustazah, Lena masih bandel, masih suka ganggu teman-teman, masih suka jahat sama ustazah, Lena takut dipukul sama malaikat.”
Lena menceritakannya sambil terisak, hatiku pilu mengapa gadis sekecil ini bisa berfikir ia akan meninggal.
“ Lena kenapa bicara seperti itu? Memangnya apa yang membuat Lena berfikir Lena akan meninggal?”
“ Ustazah, hari senin kemarin pulang sekolah Lena sakit sekali perut. Sakitnya enggak seperti biasanya, Lena seperti ingin buang air besar, tapi pas Lena ke toilet enggak ada keluar. Terus yang keluar malah darah, di celana Lena juga banyak darah, Lena enggak tahu kenapa bisa keluar darah padahal yang sakit perut Lena. Lena enggak berani bilang mama, takut mama khawatir, nanti mama sedih. Jadi Lena diam aja.”
“ Darahnya banyak keluar sayang?”
“ Banyak ustazah, darahnya masih keluar sampai sekarang, enggak berhenti-berhenti, padahal sudah tiga hari. Makanya Lena takut, karena waktu Lena nonton film di tv, kalau orang banyak keluar darah dari tubuhnya, dia bakalan meninggal”.
Aku pun tidak bisa lagi menahan tawaku mendengar kepolosannya. Yah, usia Lena memang sudah memasuki sembilan tahun, usia normal para wanita mengalami mentruasi pertamanya. Namun ini sepertinya terlalu cepat untuk Lena, ia belum mengenal menstruasi dan masalah ini malah membuatnya ketakutan.
“ Ustazah kok ketawa? Senang ya kalau Lena meninggal?”
“ Enggak kok sayang, siapa bilang ustazah senang? Kalau Lena enggak ada lagi ustazah bakalan kehilangan santri ustazah yang paling imut ini. Sekarang Lena tahan darahnya dengan apa?”
“ Dengan kain ustazah, Lena potong baju Lena yang sudah kecil terus Lena letakkan di atas celananya. Terus kalau sudah banyak, kainnya Lena masukkan dalam plastik, setelah itu Lena buang.”
“ Lena sayang sekarang dengerin ustazah ya, darah yang keluar dari Lena itu namanya darah haid atau menstruasi. Kalau seorang wanita sudah menstruasi, itu tandanya dia sudah dewasa, dia sudah baligh dan sudah wajib melakukan perintah Allah, seperti shalat, puasa, dan lainnya. Nah, kalau kita sudah baligh, dosa kita sudah kita tanggung sendiri, tidak ditanggung lagi sama orang tua. Jadi sekarang kalau Lena buat salah, Lena tanggung sendiri dosanya. Semua wanita akan mengalami haid seperti Lena”.
“ Jadi Lena belum mau meninggal ya ustazah?”
“ Belum sayang, sekarang jangan sedih lagi ya. Nanti kalau Lena pulang, Lena kasih tahu mama ya biar dibantu sama mama buat pakai penahan darahnya, lain kali kalau ada masalah jangan dipendam sendiri ya sayang”.
“ Horee, Lena masih hidup, Lena masih hidup, makasi ustazah.”
Lena mulai berteriak kegirangan. Aku terhenyak dengan kepolosannya. Ia yang masih kecil saja sudah takut akan kematian, namun betapa orang-orang yang sudah dewasa malah mengganggap remeh kematian. Lena, ustazah bangga padamu, semoga akan ada Lena-Lena lainnya setelah kamu.

Kamis, 16 Mei 2013

Ketulusanmu Menyentuh Hatiku



Ketulusanmu Menyentuh Hatiku
Karya : Risa Saiza


            Semuanya bermula karena sahabatku, si gadis jelita bernama Rita. Rita, gadis manis yang berbudi pekerti luhur, selaksa kelembutan kapas awan. Mungkin aku terlalu berlebihan mengumpamakannya, tapi itulah dia. Sahabat yang selalu menyangga hidupku menuju secercah jalan cahaya. Siang itu tiba-tiba saja Rita mengajakku menemaninya menemui kekasih yang telah lama dicintainya dan masih dicintainya sampai kini. Tidak seperti biasanya, Rita kali ini sangat ingin kutemani, telah kutolak menemuinya berkali-kali dengan alasan aku sedang ingin bermalasa-malasan, tapi apa daya keinginanku terkalahkan oleh bujuk rayunya.
            “ Ayolah ra… aku balenin bakso deh nanti, sekalian sama ice cream, nasi goreng, mie goreng, pangsit, mie caluk, apa pun deh untuk kamu, yang penting sekarang temenin aku dulu ketemu si abang. Plisssss…..”.
            “ Aduh ta, aku akuin deh masalah rayu merayu memang kamu jagoannya, oke aku temenin, apa sih yang gak demi kamu”, jawabku.
            “Demi aku apa demi makanan?”. Aku hanya tertawa, karena apa yang ia katakan memang benar. Aku akan sangat rela bangun dari tempat tidurku demi makanan-makanan itu. Begitulah aku saat itu, sosok primadona terkece di kosku, dan sosok paling pro-aktif pula dengan makanan-makanan yang tersebut di atas, aku rela tidak diet demi makanan itu, lagi pula apa yang harus didietkan dengan tubuh selangsing ini, fikirku setiap kali teman-teman menyuruhku menjaga pola makanku agar lebih terkontrol.
            Dengan iming-iming makanan aku pun segera menuntaskan pembedahan diriku menjadi wanita mempesona. Setelah mandi dan berbenah aku berangkat menggunakan mio kesayangan Rita, siap meluncur ke kos kekasihnya.
            Sampai disana kami langsung disambit oleh bang Riko. Disambit? Mengerikan. Kami hanya disambut dan tidak disambit. Bang Riko menelfon temannya, menyuruhnya membeli nasi tiga bungkus untuk kami dan beliau, memang luar biasa pasangan ini. Yang wanita mengimingiku dengan makanan, yang lelakipun demikian, perfect hidupku didekat mereka.
            Nasi yang dipesan pun tiba. Namun aku lebih tertarik kepada yang membawakan makanannya.
“ Siapa tuh bang?”
“ Kawan abang, namanya Lutfan. Kenapa? Suka? Cerocos si abang”
“ Aduh, bukan tipe saya bang. Cuma penasaran aja tadi, mau tanya kaki abang itu kenapa? Jalannya oleng gitu.”
“ Kecelakaan”, simple jawabannya.
“ Kenapa enggak ngebut lagi aja, kan enggak asik kalau cuma sebelah gitu yang rusak”, cetusku tanpa unsur perasaan.
“ Jangan ngomong gitu, entar jadi suami lho” Rita pun ikut meramaikan suasana.
            Seperti kebiasaanku, mengganggap semuanya sepele dan menjadikannya lelucon. Tanpa kusadari, ternyata di luar kamar, orang yang sedang kami bicarakan menyimak dengan baik pembicaraan kami, ia merasakan sakit hati yang teramat sangat dengan kesadarannya ia mulai mengumpat terhadapku.
            Setelah peristiwa itu, kami tidak pernah berjumpa lagi dengan Lutfan. Namun takdir kembali mempertemukan kami tiga tahun kemudian. Aku kembali diajak sahabatku, namun kali ini yang mengajak Icha. Aku menemaninya ke sebuah kantor kepolisian untuk mengurus surat-surat kendaraan bermotornya. Aku seperti bukan diriku saat harus melihat Lutfan yang mengurusi bagian administrasinya. Dengan hati yang terlampau gundah, aku langsung menarik temanku pulang setelah suratnya selesai, aku terlalu gugup sehingga lupa membayar dan mengucapkan terima kasih. Ternyata hal itu tidak hanya sepengetahuan kami, Lutfan menelfon Riko dan membeberkan kesalahanku sehingga aku harus meminta maaf kepadanya dan kepada Riko atas sikapku.
            Beberapa minggu kemudian aku kembali ke kantor yang sama, kali ini untuk mengurus keperluanku sendiri. Berkas yang kumiliki harus dibubuhi tanda tangan kepala bagian kantor tersebut. Tiba-tiba Lutfan terlihat memasuki ruangan itu, langsung saja aku berterima kasih dan meminta maaf atas keteledoranku beberapa minggu yang lalu.
“ Ngapain dik?” Lutfan memulai percakapan denganku.
“Mau urus surat bang, perlu tanda tangan kepala unitnya, lama kali datang , enggak tanggung jawab dan enggak disiplin banget.” Aku berbicara panjang lebar.
            Para wanita di kantor itu mulai memelototiku, namun sayangnya aku tidak mengerti maksud tatapan mereka. Kemudian Lutfan menawarkan jasa untuk menandatangani berkas tersebut, dan dengan spontanitas yang kuat aku menolak.
 “ enggak mau saya bang, rusak nanti surat-surat saya”.
            Tanpa menjawab perkataanku, Lutfan duduk di kursi meja kerjanya dan mulai menandatangani surat-surat di atas meja tersebut. Tubuhku rasanya melumer dan ingin meleleh saat itu juga, aku baru tahu ternyata Lutfan adalah kepala unitnya. Rasanya ingin kutenggelamkan diri ke dalam bumi yang kelam.
            Dengan tersipu malu aku meminta tanda tangannya, dan dengan spontanitas yang tinggi pula dia membalas perkataanku tadi “ jangan, rusak nanti suratnya”, lalu sedikit senyum simpul tersungging di bibirnya, sedangkan aku telah menjadi bahan tertawaan para wanita di ruang tersebut. Gubrak!
            Setelah puas mengerjaiku, Lutfan mengambil berkasku dan menandatanganinya. Namun ternyata keisengannya tidak berhenti sampai disitu.Dia baru mau memberikan berkasku dengan syarat aku mau menemaninya makan. Kali ini aku tidak menolak, lumayan makan gratis. Saat sedang asik makan, Lutfan mulai berani mengutak-atik handphoneku dan mengambil nomorku. Sejak saat itu hubungan komunikasi kami mulai berlanjut.

“ Gimana sama mas Lutfanmu ra” tanya Rita siang itu di antara petir hujan yang mendayu.
“ Enggak gimana-gimana, biasa aja”.
“ Biasa gimana? “
“ Ya sama kayak yang lain, kita friend. Aduh, aku laper ni ta, hujan-hujan gini enaknya makan yang hangat-hangat nih!”.
“ Ya sudah, minta aja Lutfan bawain”
“ jiaahh… kenapa dia? Ogah aku. Mending kuminta abang-abang ganteng lainnya yang bawain, bentar ya aku telfon banker makanan dulu,hehe.”

            Aku mulai menelfon teman-teman lelakiku satu persatu untuk kumintai tolong, kecuali Lutfan, tapi sayangnya tidak ada yang bisa membawakanku makanan kali ini, padahal biasanya cukup dua atau tiga orang yang kuhubungi akan langsung ada yang merespon. Tiba-tiba hpku berdering, nama lutfan terpampang di layar hpku. Dengan malasnya aku mengangkat telfonnya dan langsung menyambarnya.
“ Tolonglah enggak usah ganggu, lagi malas ngomong, lagi lapar”. Telfon pun langsung kumatikan.
“ Sama siapa za? Sewot sekali kamunya”, Rita kembali membuyarkan emosiku.
“ Lutfan tu, orang lagi lapar pake acara telfon segala, udah enggak ada yang bisa diminta bawain makanan lagi”.
“ Kenapa enggak minta sama bang Lutfannya aja? Kan dia telfon tadi’.
“ Ogah aku minta sama dia, pokoknya sekarang siapapun yang antarin aku makanan saat ini juga, dialah yang bakalan menjadi suamiku”. Kelaparan benar-benar membuatku frustasi sampai berkata yang tidak kusadari efeknya.

            Rita hanya tersenyum melihat tingkahku yang seperti orang kalap. Beberapa menit kemudian Lutfan datang kerumah membawakanku sebungkus nasi seafood. Ternyata ia menelfonku tadi untuk menawarkanku makanan. Setelah mengantar makanan ia langsung pulang dan kumulai melahapnya dengan semangat kemerdekaan. Selesai makan, Rita kembali mengoceh.

“ Ra, bang Lutfan itu suamimu”.
“ Enggak mau aku sama dia, bukan tipeku”.
“ Tapi tadi ra bilang siapa yang antar makanan saat ini juga, bakalan jadi suamimu”.

            Kata-kata Rita menyadarkan ucapanku tadi, aku langsung mencoba memuntahkan nasi-nasi itu karena rasa ketidaksukaanku yang teramat besar kepada Lutfan. Tapi apa boleh buat, nasi itu tidak mau lagi keluar dan kata-kataku pun tak bisa lagi kutarik. Rita hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum manyun melihat reaksiku saat itu.
Suatu malam, saat aku sedang tertidur lelap hpku berdering. Telfon dari bang Lutfan.
“ Hai dik, udah tidur ya?”
“ Iya, enggak ada kerjaan lain ya selain mengganggu orang? Punya jam bung? Lihat dong sekarang pukul berapa.”
“ Maaf dik, abang enggak bisa tidur. Hati abang enggak tenang dan enggak bisa tidur sebelum bilang perasaan abang sama adik.”
“ Aduh bang, perasaan apalagi?”
“ Abang jatuh cinta sama adik, abang ingin memperistri adik.”
“ Bang, kalau punya cermin ngaca dulu ya, abang bukan level saya, bukan tipe saya, kita tu jauh, berani amat Anda telfon tengah malam mengganggu saya hanya untuk hal yang tidak penting.”
            Lutfan mematikan hpnya setelah mendengar cacianku. Namun ternyata masalah itu tidak berhenti disitu. Semua teman-temanku memarahi sikapku yang kasar, aku yang berani menghina orang tanpa memikirkan perasaannya. Padahal aku juga sama sepertinya, manusia yang diciptakan dengan kelembutan kasih sayang Allah, namun mengapa aku bias menghardik seolah aku yang paling sempurna. Penyesalan itu akhirnya timbul, aku mulai rajin meminta maaf terhadap Lutfan walaupun terus terjadi penolakan maaf darinya karena rasa sakit yang kututurkan. Setelah terus meminta maaf, Lutfan menerima maafku dengan syarat aku harus menjadi pacarnya.
            Pacaranku dengannya hanya sebatas memenuhi syarat. Aku sama sekali tidak memperlakukan diri sebagai pacarnya. Namun cintanya mulai menyentuh tanduk cintaku. Aku mulai tersentuh dengan kesetiaannya yang selalu rela berlama-lama menungguku pulang ke rumah, padahal aku sengaja tidak pulang karena ada dia dirumahku. Telfonnya yang tak pernah kuangkat, dan smsnya yang sering kuabaikan pun tak membentuk secuil amarah pun di dalam hatinya.
            Lutfan benar-benar bertekad menjadikanku istrinya, dan sepertinya aku termakan perkataanku, Allah benar-benar ingin menunjukkan kekuasaannya padaku. Setelah tiga bulan pacaran, aku langsung dilamar oleh Lutfan. Perasaanku mulai menyatu dengan hatinya. Hal-hal yang dulunya kubenci darinya menjadi hal yang paling kucintai darinya. Suamiku menyadarkanku akan hati yang hanya bisa dibolak-balik oleh Allah sang pemberi cinta. Suamiku telah memberikan begitu banyak cinta hingga aku mampu mengenal manivestasi cinta yang sesungguhnya, lalu siapakah aku ketika Allah berkehendak. Aku menjadi teringat dengan salah satu sabda Rasulullah yang juga ada di dalam firman Allah, “ Bencilah terhadap sesuatu sekedarnya saja, karena bisa jadi kamu akan menyukainya, dan cintailah sesuatu sekedarnya saja, karena bisa jadi kamu akan membencinya nanti”.