Darah Lena
“Ustazah, lihat
ni dia!”
“ Jangan nakal
Tina!”
“Ustazah, Reza
ambil-ambil buku kami.”
“ Ayo Za,
kembalikan buku Ika.”
“ Ustazah,
Wardani ganggu-ganggu.”
“ Wardani, nanti
kawannya nangis.”
Huft, kesabaranku sering sekali
terkuras menghadapi peri-peri kecilku dan putra-putra kebangganku di surau
tempatku mengajar setiap sorenya. Aku selalu menenangkan hatiku yang kerap
emosi dengan tingkah mereka melalui bahasa batinku, “ Ayolah Za, bersabarlah
sedikit lagi, bukan anak-anak namanya kalau tidak bandel, ingatkan masa kecilmu
dulu?”
Aku bergelut dengan batinku untuk
menyabarkan hatiku. Hal itulah yang mempertahankanku di sini, meski terkadang
godaan selalu mengusik mempermainkan fikiranku untuk meninggalkan mereka.
Tidak, teriak batinku saat nafsu itu kembali hadir. Bagaimana pun juga
anak-anak itu adalah penerus generasi mujahid yang harus kubina sejak dini.
Jika setiap ustazah akan melemah ketika menghadapi anak-anak nakal, siapa lagi
yang dapat membantu mereka menuju kebenaran? Maka, di sinilah tempatku bersama
keluguan-keluguan anak-anakku.
“ Ayo, sekarang
tutup Qurannya semua, kita sambung dengan belajar kitab.”
“ Ustazah, Lia
enggak bawa kitab.” Salah satu santriku ini sangat rajin melupakan kitabnya
untuk dibawa mengaji, padahal setiap pengajian selesai mereka selalu kunasehati
untuk menyiapkan perlengkapan mengaji di dalam sebuah tas khusus.
“ Ya sudah, ini
pinjam punya Ustazah dulu, sekarang semuanya buka halaman 20 ya.”
Aku melihat binar di mata mereka
setiap jadwal pulang tiba. Yah, semua anak-anak akan sangat senang bila bisa
berhenti dari rutinitas belajarnya, karena di dalam fikirannya hanya ingin
bersenang-senang.
Libur sabtu dan
minggu kumanfaatkan sebaik-baiknya, Aku benar-benar meringankan fikiranku untuk
menghadapi kembali rutinitas senin sampai jumatku, bersama kuliahku dan bersama
santri-santriku. Ketika kukembali, tak pernah kuabsen menanyakan kegiatan
liburan mereka untuk sedikit memberi kasih sayang melalui perasaan “merasa
diperhatikan”.
“ Gimana
liburannya kemarin? Menyenangkan tidak?”
“ Sangat
ustazah, Lili kemarin pergi ke Brayeun sama ummi abi, airnya deras sekali, tapi
Lili bisa berenang”.
“ Kalau Oji
kemarin bantuin mama jualan ustazah, gorengannya mama laku semua, habis dibeli
sama orang-orang”.
Kebahagiaan
selalu terpancar dari balik bola mata polos mereka, dan perhatian-perhatian
kecil itu membuat mereka merasa mendapatkan kasih sayang yang sama. Aku sering
mendengar mereka membandingkan ustazah ini dan ustazah itu hanya karena
terkadang mereka harus dimarahi karena sikapnya yang buruk, tak terkecuali aku.
Namun bagiku, memarahi tanpa mengisinya dengan cinta tidak akan membuat mereka
termotivasi untuk berubah. Namun tiga hari ini kulihat Lena selalu murung dan
tidak bersemangat seperti biasanya. Hatiku tergerak untuk mencari tahu apa yang
sedang difikirkannya. Sore itu kuberanikan diri menyapanya sepulang pengajian.
“ Lena, belum
dijemput ya?”
“ Belum
ustazah”.
“ Biar ustazah
temenin ya, ini ustazah ada kue, dimakan ya!”
“ Enggak
ustazah, makasi ya, Lena enggak lapar, enggak selera makan.”
“ Loh, kok
enggak mau? Kan ini kue kesukaannya Lena. Lena enggak selera pasti karena ada
yang dipikirin ya? Ayo, cerita sama ustazah ya biar hatinya tenang, mungkin
ustazah bisa bantu.”
Lena tidak
merespon pertanyaanku, ia kembali sibuk dengan lamunannya, wajahnya kembali
murung. Aku khawatir melihat Lena yang tidak biasanya seperti ini.
“ Kenapa sayang?
Ayo cerita, enggak apa-apa kok, ustazah janji ini bakalan jadi rahasia kita
berdua, kelingkingnya Lena mana? biar kita janji!”
Perkataanku
mulai menarik perhatiannya, Lena memberikan tangannya dan mulai mencoba
bercerita dengan takut-takut.
“ Ustazah janji
ya, jangan cerita ke siapa-siapa.”
“ Iya,ustazah
janji, kitakan friend”, kuberikan senyum simpul termanisku agar ia percaya.
“ Gini ustazah,
Lena enggak lama lagi mau meninggal, hidup Lena sedikit lagi, tapi Lena takut
nanti malaikat cabut nyawa Lena keras-keras, kan kata ustazah kalau kita
bandel-bandel nanti pas mau meninggal malaikat cabut nyawa kita kasar, Lena
belum berani ketemu malaikat ustazah, Lena masih bandel, masih suka ganggu
teman-teman, masih suka jahat sama ustazah, Lena takut dipukul sama malaikat.”
Lena
menceritakannya sambil terisak, hatiku pilu mengapa gadis sekecil ini bisa
berfikir ia akan meninggal.
“ Lena kenapa
bicara seperti itu? Memangnya apa yang membuat Lena berfikir Lena akan
meninggal?”
“ Ustazah, hari
senin kemarin pulang sekolah Lena sakit sekali perut. Sakitnya enggak seperti
biasanya, Lena seperti ingin buang air besar, tapi pas Lena ke toilet enggak
ada keluar. Terus yang keluar malah darah, di celana Lena juga banyak darah,
Lena enggak tahu kenapa bisa keluar darah padahal yang sakit perut Lena. Lena
enggak berani bilang mama, takut mama khawatir, nanti mama sedih. Jadi Lena
diam aja.”
“ Darahnya
banyak keluar sayang?”
“ Banyak
ustazah, darahnya masih keluar sampai sekarang, enggak berhenti-berhenti,
padahal sudah tiga hari. Makanya Lena takut, karena waktu Lena nonton film di
tv, kalau orang banyak keluar darah dari tubuhnya, dia bakalan meninggal”.
Aku pun tidak
bisa lagi menahan tawaku mendengar kepolosannya. Yah, usia Lena memang sudah
memasuki sembilan tahun, usia normal para wanita mengalami mentruasi
pertamanya. Namun ini sepertinya terlalu cepat untuk Lena, ia belum mengenal
menstruasi dan masalah ini malah membuatnya ketakutan.
“ Ustazah kok
ketawa? Senang ya kalau Lena meninggal?”
“ Enggak kok sayang,
siapa bilang ustazah senang? Kalau Lena enggak ada lagi ustazah bakalan
kehilangan santri ustazah yang paling imut ini. Sekarang Lena tahan darahnya
dengan apa?”
“ Dengan kain
ustazah, Lena potong baju Lena yang sudah kecil terus Lena letakkan di atas
celananya. Terus kalau sudah banyak, kainnya Lena masukkan dalam plastik, setelah
itu Lena buang.”
“ Lena sayang
sekarang dengerin ustazah ya, darah yang keluar dari Lena itu namanya darah
haid atau menstruasi. Kalau seorang wanita sudah menstruasi, itu tandanya dia
sudah dewasa, dia sudah baligh dan sudah wajib melakukan perintah Allah,
seperti shalat, puasa, dan lainnya. Nah, kalau kita sudah baligh, dosa kita
sudah kita tanggung sendiri, tidak ditanggung lagi sama orang tua. Jadi
sekarang kalau Lena buat salah, Lena tanggung sendiri dosanya. Semua wanita
akan mengalami haid seperti Lena”.
“ Jadi Lena
belum mau meninggal ya ustazah?”
“ Belum sayang,
sekarang jangan sedih lagi ya. Nanti kalau Lena pulang, Lena kasih tahu mama ya
biar dibantu sama mama buat pakai penahan darahnya, lain kali kalau ada masalah
jangan dipendam sendiri ya sayang”.
“ Horee, Lena
masih hidup, Lena masih hidup, makasi ustazah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar