Senin, 20 Mei 2013

Darah Lena


Darah Lena
“Ustazah, lihat ni dia!”
“ Jangan nakal Tina!”
“Ustazah, Reza ambil-ambil buku kami.”
“ Ayo Za, kembalikan buku Ika.”
“ Ustazah, Wardani ganggu-ganggu.”
“ Wardani, nanti kawannya nangis.”
            Huft, kesabaranku sering sekali terkuras menghadapi peri-peri kecilku dan putra-putra kebangganku di surau tempatku mengajar setiap sorenya. Aku selalu menenangkan hatiku yang kerap emosi dengan tingkah mereka melalui bahasa batinku, “ Ayolah Za, bersabarlah sedikit lagi, bukan anak-anak namanya kalau tidak bandel, ingatkan masa kecilmu dulu?”
            Aku bergelut dengan batinku untuk menyabarkan hatiku. Hal itulah yang mempertahankanku di sini, meski terkadang godaan selalu mengusik mempermainkan fikiranku untuk meninggalkan mereka. Tidak, teriak batinku saat nafsu itu kembali hadir. Bagaimana pun juga anak-anak itu adalah penerus generasi mujahid yang harus kubina sejak dini. Jika setiap ustazah akan melemah ketika menghadapi anak-anak nakal, siapa lagi yang dapat membantu mereka menuju kebenaran? Maka, di sinilah tempatku bersama keluguan-keluguan anak-anakku.
“ Ayo, sekarang tutup Qurannya semua, kita sambung dengan belajar kitab.”
“ Ustazah, Lia enggak bawa kitab.” Salah satu santriku ini sangat rajin melupakan kitabnya untuk dibawa mengaji, padahal setiap pengajian selesai mereka selalu kunasehati untuk menyiapkan perlengkapan mengaji di dalam sebuah tas khusus.
“ Ya sudah, ini pinjam punya Ustazah dulu, sekarang semuanya buka halaman 20 ya.”
            Aku melihat binar di mata mereka setiap jadwal pulang tiba. Yah, semua anak-anak akan sangat senang bila bisa berhenti dari rutinitas belajarnya, karena di dalam fikirannya hanya ingin bersenang-senang.
Libur sabtu dan minggu kumanfaatkan sebaik-baiknya, Aku benar-benar meringankan fikiranku untuk menghadapi kembali rutinitas senin sampai jumatku, bersama kuliahku dan bersama santri-santriku. Ketika kukembali, tak pernah kuabsen menanyakan kegiatan liburan mereka untuk sedikit memberi kasih sayang melalui perasaan “merasa diperhatikan”.
“ Gimana liburannya kemarin? Menyenangkan tidak?”
“ Sangat ustazah, Lili kemarin pergi ke Brayeun sama ummi abi, airnya deras sekali, tapi Lili bisa berenang”.
“ Kalau Oji kemarin bantuin mama jualan ustazah, gorengannya mama laku semua, habis dibeli sama orang-orang”.
Kebahagiaan selalu terpancar dari balik bola mata polos mereka, dan perhatian-perhatian kecil itu membuat mereka merasa mendapatkan kasih sayang yang sama. Aku sering mendengar mereka membandingkan ustazah ini dan ustazah itu hanya karena terkadang mereka harus dimarahi karena sikapnya yang buruk, tak terkecuali aku. Namun bagiku, memarahi tanpa mengisinya dengan cinta tidak akan membuat mereka termotivasi untuk berubah. Namun tiga hari ini kulihat Lena selalu murung dan tidak bersemangat seperti biasanya. Hatiku tergerak untuk mencari tahu apa yang sedang difikirkannya. Sore itu kuberanikan diri menyapanya sepulang pengajian.
“ Lena, belum dijemput ya?”
“ Belum ustazah”.
“ Biar ustazah temenin ya, ini ustazah ada kue, dimakan ya!”
“ Enggak ustazah, makasi ya, Lena enggak lapar, enggak selera makan.”
“ Loh, kok enggak mau? Kan ini kue kesukaannya Lena. Lena enggak selera pasti karena ada yang dipikirin ya? Ayo, cerita sama ustazah ya biar hatinya tenang, mungkin ustazah bisa bantu.”
Lena tidak merespon pertanyaanku, ia kembali sibuk dengan lamunannya, wajahnya kembali murung. Aku khawatir melihat Lena yang tidak biasanya seperti ini.
“ Kenapa sayang? Ayo cerita, enggak apa-apa kok, ustazah janji ini bakalan jadi rahasia kita berdua, kelingkingnya Lena mana? biar kita janji!”
Perkataanku mulai menarik perhatiannya, Lena memberikan tangannya dan mulai mencoba bercerita dengan takut-takut.
“ Ustazah janji ya, jangan cerita ke siapa-siapa.”
“ Iya,ustazah janji, kitakan friend”, kuberikan senyum simpul termanisku agar ia percaya.
“ Gini ustazah, Lena enggak lama lagi mau meninggal, hidup Lena sedikit lagi, tapi Lena takut nanti malaikat cabut nyawa Lena keras-keras, kan kata ustazah kalau kita bandel-bandel nanti pas mau meninggal malaikat cabut nyawa kita kasar, Lena belum berani ketemu malaikat ustazah, Lena masih bandel, masih suka ganggu teman-teman, masih suka jahat sama ustazah, Lena takut dipukul sama malaikat.”
Lena menceritakannya sambil terisak, hatiku pilu mengapa gadis sekecil ini bisa berfikir ia akan meninggal.
“ Lena kenapa bicara seperti itu? Memangnya apa yang membuat Lena berfikir Lena akan meninggal?”
“ Ustazah, hari senin kemarin pulang sekolah Lena sakit sekali perut. Sakitnya enggak seperti biasanya, Lena seperti ingin buang air besar, tapi pas Lena ke toilet enggak ada keluar. Terus yang keluar malah darah, di celana Lena juga banyak darah, Lena enggak tahu kenapa bisa keluar darah padahal yang sakit perut Lena. Lena enggak berani bilang mama, takut mama khawatir, nanti mama sedih. Jadi Lena diam aja.”
“ Darahnya banyak keluar sayang?”
“ Banyak ustazah, darahnya masih keluar sampai sekarang, enggak berhenti-berhenti, padahal sudah tiga hari. Makanya Lena takut, karena waktu Lena nonton film di tv, kalau orang banyak keluar darah dari tubuhnya, dia bakalan meninggal”.
Aku pun tidak bisa lagi menahan tawaku mendengar kepolosannya. Yah, usia Lena memang sudah memasuki sembilan tahun, usia normal para wanita mengalami mentruasi pertamanya. Namun ini sepertinya terlalu cepat untuk Lena, ia belum mengenal menstruasi dan masalah ini malah membuatnya ketakutan.
“ Ustazah kok ketawa? Senang ya kalau Lena meninggal?”
“ Enggak kok sayang, siapa bilang ustazah senang? Kalau Lena enggak ada lagi ustazah bakalan kehilangan santri ustazah yang paling imut ini. Sekarang Lena tahan darahnya dengan apa?”
“ Dengan kain ustazah, Lena potong baju Lena yang sudah kecil terus Lena letakkan di atas celananya. Terus kalau sudah banyak, kainnya Lena masukkan dalam plastik, setelah itu Lena buang.”
“ Lena sayang sekarang dengerin ustazah ya, darah yang keluar dari Lena itu namanya darah haid atau menstruasi. Kalau seorang wanita sudah menstruasi, itu tandanya dia sudah dewasa, dia sudah baligh dan sudah wajib melakukan perintah Allah, seperti shalat, puasa, dan lainnya. Nah, kalau kita sudah baligh, dosa kita sudah kita tanggung sendiri, tidak ditanggung lagi sama orang tua. Jadi sekarang kalau Lena buat salah, Lena tanggung sendiri dosanya. Semua wanita akan mengalami haid seperti Lena”.
“ Jadi Lena belum mau meninggal ya ustazah?”
“ Belum sayang, sekarang jangan sedih lagi ya. Nanti kalau Lena pulang, Lena kasih tahu mama ya biar dibantu sama mama buat pakai penahan darahnya, lain kali kalau ada masalah jangan dipendam sendiri ya sayang”.
“ Horee, Lena masih hidup, Lena masih hidup, makasi ustazah.”
Lena mulai berteriak kegirangan. Aku terhenyak dengan kepolosannya. Ia yang masih kecil saja sudah takut akan kematian, namun betapa orang-orang yang sudah dewasa malah mengganggap remeh kematian. Lena, ustazah bangga padamu, semoga akan ada Lena-Lena lainnya setelah kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar