Ketulusanmu
Menyentuh Hatiku
Karya : Risa Saiza
Karya : Risa Saiza
Semuanya bermula karena sahabatku,
si gadis jelita bernama Rita. Rita, gadis manis yang berbudi pekerti luhur,
selaksa kelembutan kapas awan. Mungkin aku terlalu berlebihan mengumpamakannya,
tapi itulah dia. Sahabat yang selalu menyangga hidupku menuju secercah jalan
cahaya. Siang itu tiba-tiba saja Rita mengajakku menemaninya menemui kekasih
yang telah lama dicintainya dan masih dicintainya sampai kini. Tidak seperti
biasanya, Rita kali ini sangat ingin kutemani, telah kutolak menemuinya
berkali-kali dengan alasan aku sedang ingin bermalasa-malasan, tapi apa daya
keinginanku terkalahkan oleh bujuk rayunya.
“ Ayolah ra… aku balenin bakso deh
nanti, sekalian sama ice cream, nasi goreng, mie goreng, pangsit, mie caluk,
apa pun deh untuk kamu, yang penting sekarang temenin aku dulu ketemu si abang.
Plisssss…..”.
“ Aduh ta, aku akuin deh masalah
rayu merayu memang kamu jagoannya, oke aku temenin, apa sih yang gak demi kamu”,
jawabku.
“Demi aku apa demi makanan?”. Aku
hanya tertawa, karena apa yang ia katakan memang benar. Aku akan sangat rela
bangun dari tempat tidurku demi makanan-makanan itu. Begitulah aku saat itu,
sosok primadona terkece di kosku, dan sosok paling pro-aktif pula dengan
makanan-makanan yang tersebut di atas, aku rela tidak diet demi makanan itu,
lagi pula apa yang harus didietkan dengan tubuh selangsing ini, fikirku setiap
kali teman-teman menyuruhku menjaga pola makanku agar lebih terkontrol.
Dengan iming-iming makanan aku pun
segera menuntaskan pembedahan diriku menjadi wanita mempesona. Setelah mandi
dan berbenah aku berangkat menggunakan mio kesayangan Rita, siap meluncur ke
kos kekasihnya.
Sampai disana kami langsung disambit
oleh bang Riko. Disambit? Mengerikan. Kami hanya disambut dan tidak disambit.
Bang Riko menelfon temannya, menyuruhnya membeli nasi tiga bungkus untuk kami
dan beliau, memang luar biasa pasangan ini. Yang wanita mengimingiku dengan
makanan, yang lelakipun demikian, perfect hidupku didekat mereka.
Nasi yang dipesan pun tiba. Namun
aku lebih tertarik kepada yang membawakan makanannya.
“
Siapa tuh bang?”
“
Kawan abang, namanya Lutfan. Kenapa? Suka? Cerocos si abang”
“
Aduh, bukan tipe saya bang. Cuma penasaran aja tadi, mau tanya kaki abang itu
kenapa? Jalannya oleng gitu.”
“
Kecelakaan”, simple jawabannya.
“
Kenapa enggak ngebut lagi aja, kan enggak asik kalau cuma sebelah gitu yang
rusak”, cetusku tanpa unsur perasaan.
“
Jangan ngomong gitu, entar jadi suami lho” Rita pun ikut meramaikan suasana.
Seperti kebiasaanku, mengganggap
semuanya sepele dan menjadikannya lelucon. Tanpa kusadari, ternyata di luar
kamar, orang yang sedang kami bicarakan menyimak dengan baik pembicaraan kami,
ia merasakan sakit hati yang teramat sangat dengan kesadarannya ia mulai
mengumpat terhadapku.
Setelah peristiwa itu, kami tidak
pernah berjumpa lagi dengan Lutfan. Namun takdir kembali mempertemukan kami
tiga tahun kemudian. Aku kembali diajak sahabatku, namun kali ini yang mengajak
Icha. Aku menemaninya ke sebuah kantor kepolisian untuk mengurus surat-surat
kendaraan bermotornya. Aku seperti bukan diriku saat harus melihat Lutfan yang
mengurusi bagian administrasinya. Dengan hati yang terlampau gundah, aku
langsung menarik temanku pulang setelah suratnya selesai, aku terlalu gugup
sehingga lupa membayar dan mengucapkan terima kasih. Ternyata hal itu tidak
hanya sepengetahuan kami, Lutfan menelfon Riko dan membeberkan kesalahanku
sehingga aku harus meminta maaf kepadanya dan kepada Riko atas sikapku.
Beberapa minggu kemudian aku kembali
ke kantor yang sama, kali ini untuk mengurus keperluanku sendiri. Berkas yang
kumiliki harus dibubuhi tanda tangan kepala bagian kantor tersebut. Tiba-tiba
Lutfan terlihat memasuki ruangan itu, langsung saja aku berterima kasih dan
meminta maaf atas keteledoranku beberapa minggu yang lalu.
“
Ngapain dik?” Lutfan memulai percakapan denganku.
“Mau
urus surat bang, perlu tanda tangan kepala unitnya, lama kali datang , enggak
tanggung jawab dan enggak disiplin banget.” Aku berbicara panjang lebar.
Para wanita di kantor itu mulai
memelototiku, namun sayangnya aku tidak mengerti maksud tatapan mereka.
Kemudian Lutfan menawarkan jasa untuk menandatangani berkas tersebut, dan
dengan spontanitas yang kuat aku menolak.
“ enggak mau saya bang, rusak nanti
surat-surat saya”.
Tanpa menjawab perkataanku, Lutfan
duduk di kursi meja kerjanya dan mulai menandatangani surat-surat di atas meja
tersebut. Tubuhku rasanya melumer dan ingin meleleh saat itu juga, aku baru
tahu ternyata Lutfan adalah kepala unitnya. Rasanya ingin kutenggelamkan diri
ke dalam bumi yang kelam.
Dengan tersipu malu aku meminta
tanda tangannya, dan dengan spontanitas yang tinggi pula dia membalas
perkataanku tadi “ jangan, rusak nanti suratnya”, lalu sedikit senyum simpul
tersungging di bibirnya, sedangkan aku telah menjadi bahan tertawaan para
wanita di ruang tersebut. Gubrak!
Setelah puas mengerjaiku, Lutfan
mengambil berkasku dan menandatanganinya. Namun ternyata keisengannya tidak
berhenti sampai disitu.Dia baru mau memberikan berkasku dengan syarat aku mau
menemaninya makan. Kali ini aku tidak menolak, lumayan makan gratis. Saat
sedang asik makan, Lutfan mulai berani mengutak-atik handphoneku dan mengambil
nomorku. Sejak saat itu hubungan komunikasi kami mulai berlanjut.
“
Gimana sama mas Lutfanmu ra” tanya Rita siang itu di antara petir hujan yang
mendayu.
“
Enggak gimana-gimana, biasa aja”.
“
Biasa gimana? “
“
Ya sama kayak yang lain, kita friend. Aduh, aku laper ni ta, hujan-hujan gini
enaknya makan yang hangat-hangat nih!”.
“
Ya sudah, minta aja Lutfan bawain”
“
jiaahh… kenapa dia? Ogah aku. Mending kuminta abang-abang ganteng lainnya yang
bawain, bentar ya aku telfon banker makanan dulu,hehe.”
Aku mulai menelfon teman-teman
lelakiku satu persatu untuk kumintai tolong, kecuali Lutfan, tapi sayangnya
tidak ada yang bisa membawakanku makanan kali ini, padahal biasanya cukup dua
atau tiga orang yang kuhubungi akan langsung ada yang merespon. Tiba-tiba hpku
berdering, nama lutfan terpampang di layar hpku. Dengan malasnya aku mengangkat
telfonnya dan langsung menyambarnya.
“
Tolonglah enggak usah ganggu, lagi malas ngomong, lagi lapar”. Telfon pun
langsung kumatikan.
“
Sama siapa za? Sewot sekali kamunya”, Rita kembali membuyarkan emosiku.
“
Lutfan tu, orang lagi lapar pake acara telfon segala, udah enggak ada yang bisa
diminta bawain makanan lagi”.
“
Kenapa enggak minta sama bang Lutfannya aja? Kan dia telfon tadi’.
“
Ogah aku minta sama dia, pokoknya sekarang siapapun yang antarin aku makanan
saat ini juga, dialah yang bakalan menjadi suamiku”. Kelaparan benar-benar
membuatku frustasi sampai berkata yang tidak kusadari efeknya.
Rita hanya tersenyum melihat
tingkahku yang seperti orang kalap. Beberapa menit kemudian Lutfan datang
kerumah membawakanku sebungkus nasi seafood. Ternyata ia menelfonku tadi untuk
menawarkanku makanan. Setelah mengantar makanan ia langsung pulang dan kumulai
melahapnya dengan semangat kemerdekaan. Selesai makan, Rita kembali mengoceh.
“
Ra, bang Lutfan itu suamimu”.
“
Enggak mau aku sama dia, bukan tipeku”.
“
Tapi tadi ra bilang siapa yang antar makanan saat ini juga, bakalan jadi
suamimu”.
Kata-kata Rita menyadarkan ucapanku
tadi, aku langsung mencoba memuntahkan nasi-nasi itu karena rasa ketidaksukaanku
yang teramat besar kepada Lutfan. Tapi apa boleh buat, nasi itu tidak mau lagi
keluar dan kata-kataku pun tak bisa lagi kutarik. Rita hanya geleng-geleng
kepala dan tersenyum manyun melihat reaksiku saat itu.
Suatu
malam, saat aku sedang tertidur lelap hpku berdering. Telfon dari bang Lutfan.
“
Hai dik, udah tidur ya?”
“
Iya, enggak ada kerjaan lain ya selain mengganggu orang? Punya jam bung? Lihat
dong sekarang pukul berapa.”
“
Maaf dik, abang enggak bisa tidur. Hati abang enggak tenang dan enggak bisa
tidur sebelum bilang perasaan abang sama adik.”
“
Aduh bang, perasaan apalagi?”
“
Abang jatuh cinta sama adik, abang ingin memperistri adik.”
“
Bang, kalau punya cermin ngaca dulu ya, abang bukan level saya, bukan tipe
saya, kita tu jauh, berani amat Anda telfon tengah malam mengganggu saya hanya
untuk hal yang tidak penting.”
Lutfan mematikan hpnya setelah
mendengar cacianku. Namun ternyata masalah itu tidak berhenti disitu. Semua
teman-temanku memarahi sikapku yang kasar, aku yang berani menghina orang tanpa
memikirkan perasaannya. Padahal aku juga sama sepertinya, manusia yang
diciptakan dengan kelembutan kasih sayang Allah, namun mengapa aku bias
menghardik seolah aku yang paling sempurna. Penyesalan itu akhirnya timbul, aku
mulai rajin meminta maaf terhadap Lutfan walaupun terus terjadi penolakan maaf
darinya karena rasa sakit yang kututurkan. Setelah terus meminta maaf, Lutfan
menerima maafku dengan syarat aku harus menjadi pacarnya.
Pacaranku dengannya hanya sebatas
memenuhi syarat. Aku sama sekali tidak memperlakukan diri sebagai pacarnya.
Namun cintanya mulai menyentuh tanduk cintaku. Aku mulai tersentuh dengan
kesetiaannya yang selalu rela berlama-lama menungguku pulang ke rumah, padahal
aku sengaja tidak pulang karena ada dia dirumahku. Telfonnya yang tak pernah
kuangkat, dan smsnya yang sering kuabaikan pun tak membentuk secuil amarah pun
di dalam hatinya.
Lutfan benar-benar bertekad
menjadikanku istrinya, dan sepertinya aku termakan perkataanku, Allah
benar-benar ingin menunjukkan kekuasaannya padaku. Setelah tiga bulan pacaran,
aku langsung dilamar oleh Lutfan. Perasaanku mulai menyatu dengan hatinya.
Hal-hal yang dulunya kubenci darinya menjadi hal yang paling kucintai darinya.
Suamiku menyadarkanku akan hati yang hanya bisa dibolak-balik oleh Allah sang
pemberi cinta. Suamiku telah memberikan begitu banyak cinta hingga aku mampu
mengenal manivestasi cinta yang sesungguhnya, lalu siapakah aku ketika Allah
berkehendak. Aku menjadi teringat dengan salah satu sabda Rasulullah yang juga
ada di dalam firman Allah, “ Bencilah terhadap sesuatu sekedarnya saja, karena
bisa jadi kamu akan menyukainya, dan cintailah sesuatu sekedarnya saja, karena
bisa jadi kamu akan membencinya nanti”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar