Saiza in the words
Salam ukhwah sahabat.. Semoga keberkahan hidup menyertai seluruh sisi kehidupan kita sebagai maklhuk sementara di muka bumi.Sahabat, sering kita mendengar pepatah "Sampaikanlah walau satu ayat". Disini,Ana mencoba menyampaikan berbagai ilmu dan kreativitas yang Ana dapatkan dari berbagai petualangan menggapai ilmu, semoga isi-isinya akan memberikan banyak manfaat untuk hidup kita. Amin. Selamat menikmati dunia Saiza... :)
Sabtu, 03 Mei 2014
Jumat, 07 Juni 2013
Dentuman Kasih _Risa Saiza_

Aku melepasmu dengan kepedihan
diantara deru lonceng dan suara para laskar
Aku menggertak geraham untuk menahan amarah
seakan engkau akan dicincang dalam gua belukar
sesak memang
tapi katamu ini untuk masa depan
kuikhlaskan kanda berjalan menuju impian
sampai sosokmu lenyap baru kau kutinggal
sampai aku terpaksa harus kuat membalikkan diri
sampai aku menjauhi tempat pengabdianmu
sabarlah hati
Nikmati dentuman kasih
mari kita kepakkan sekeping
bahkan berkeping kerinduan ini
dalam kelapangan dan rasa taqwa
biar doa menjadi pengikat raga
biarkan bara cinta menguatkan rasa di jiwa
biarkan jarak dan waktu menjadi penopang rasa ingin bersatu
membentuk masa depan kita
meninggalkan masa lalumu
meninggalkan masa laluku
hingga yang tersisa adalah kita
bukan hanya kau
bukan pula hanya aku
Aku melepasmu dengan kepedihan
diantara deru lonceng dan suara para laskar
Aku menggertak geraham untuk menahan amarah
seakan engkau akan dicincang dalam gua belukar
sesak memang
tapi katamu ini untuk masa depan
kuikhlaskan kanda berjalan menuju impian
sampai sosokmu lenyap baru kau kutinggal
sampai aku terpaksa harus kuat membalikkan diri
sampai aku menjauhi tempat pengabdianmu
sabarlah hati
Nikmati dentuman kasih
mari kita kepakkan sekeping
bahkan berkeping kerinduan ini
dalam kelapangan dan rasa taqwa
biar doa menjadi pengikat raga
biarkan bara cinta menguatkan rasa di jiwa
biarkan jarak dan waktu menjadi penopang rasa ingin bersatu
membentuk masa depan kita
meninggalkan masa lalumu
meninggalkan masa laluku
hingga yang tersisa adalah kita
bukan hanya kau
bukan pula hanya aku
Minggu, 02 Juni 2013
Minggu, 26 Mei 2013
Solusi? Yes! Tersangka? No!
Solusi?
Yes! Tersangka? No!
Oleh
: Risa Saiza
Abad
semakin maju dan zaman semakin berkembang. Perkembangan ini membuat dunia
semakin bersaing untuk lebih maju, berkembang, bermutu, dan mandiri. Setiap
negara berpacu menjadi yang terbaik dalam segala aspek. Indonesia menjadi salah
satu negara yang turut andil dalam pacuan ini.
Pendidikan
menjadi aspek utama atau induk dari semua aspek yang mengikutinya. Semakin
bagus pendidikan suatu bangsa, semakin bagus pula rancangan aspek sosial,
budaya, politik serta ekonomi karena dipengaruhi pola pikir hasil asahan dunia
pendidikan.
Pentingnya
pendidikan membuat pemerintah harus merancang berbagai sistem untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas mutu pendidikan, baik dari sarana maupun
prasarana. Mulai dari perubahan kurikulum yang begitu signifikan tanpa adanya
pembakuan kurikulum, peningkatan mutu pendidikan pendidik (guru), sampai sistem
Ujian Nasional yang mencekik ketakutan anak bangsa.
Pertama,
kita akan mengkaji kurikulum yang belum memiliki pembakuan. Di Indonesia
terjadinya perubahan kepengurusan, maka berubah pula sistem dan rancangan.
Indonesia tidak membakukan sistem lama dan menambahkan unsur baru pada
pemerintahan yang baru, namun cenderung membongkar yang lama dan menciptakan
yang baru, sehingga terkesan sibuk bongkar pasang tanpa mencerna hasil yang
ingin dicapai. Kita tilik dari kurikulum 1994, KBK, kemudian KTSP, Kurikulum
Berkarakter, dan sekarang kembali muncul isu perubahan kurikulum menjadi
kurikulum 2013. Tujuan semua rancangan yang ditetapkan sama, yaitu meningkatkan
mutu pendidikan. Lalu bagaimana sebuah tujuan dari setiap kurikulum itu akan
tercapai jika satu rancangan saja belum sempurna tersosialisasi sudah terjadi
pembaharuan kembali.
Pihak
yang terkait harus lebih membuka mata terhadap hal ini. Tidak hanya melihat
kemajuan di perkotaan yang sarana dan prasarananya lebih memadai dan lebih
mudah tersosialisasi. Mereka yang berada di daerah terpencil juga membutuhkan
sosialisasi yang mendalam terhadap berbagai sistem baru yang diterapkan karena
mereka juga harus menyesuaikan pula dengan kondisi dan situasi pendidikan di
sana, baik dari segi siswanya, segi lingkungannya, maupun dari segi kualitas
pembangunannya.
Selanjutnya
kita melaju kepada guru. Untuk meningkatkan mutu peserta didik, guru turut pula
dipacu mutunya. Berbagai penataran, seminar, pelatihan wajib diikuti guru.
Berbagai tes, ujian, dan syarat seorang guru diikuti untuk menjadi guru yang
profesional. Namun upaya ini harus lebih ditingkatkan agar guru-guru terus
menjadi lebih baik dan meningkat mutunya.
Terakhir
kita beralih kepada UN yang menjadi topik terheboh disetiap tahunnya. Anak-anak
bersekolah sejak dini dan diajarkan dari cara mengenal huruf sampai kepada ilmu
yang berwawasan lebih luas. Tidak bisa dipungkiri, guru merupakan dalang dari
ilmu-ilmu yang diterima sang siswa. Guru berperan penting dalam pengembangan
wawasan si anak. Bertahun-tahun ia bersekolah, guru mengajarkan berbagai hal
yang telah ditetapkan oleh kurikulum dalam acuan nasional. Tujuan guru semuanya
sama, hanya ingin anak didiknya mampu menguasai ilmu tersebut dan dapat
mengapresiasikannya dalam kehidupan, kemudian bisa lulus dengan membanggakan
sehingga dapat menjadi anak-anak yang dapat memajukan diri sendiri,keluarga,
saudara,lingkungan,dan bangsa. Guru akan memberikan ilmu apapun yang ia miliki,
namun tidak meminta sepeserpun apa yang telah diraih oleh anak didiknya ketika
ia sukses. Tapi sangat disayangkan, saat ini rasa hormat terhadap seorang
pendidik semakin berkurang. Terlebih bila hal ini menyangkut UN.
Pada
masa-masa awal sekolah guru tidak henti membangun dan menyadarkan
siswa-siswanya terhadap rintangan yang akan dihadapinya beberapa tahun yang
akan datang. Guru terus membimbing, membina dan mengembangkan semangat serta
potensi anak didiknya untuk mempersiapkan diri menghadapi
kemungkinan-kemungkinan buruk dalam perjalanan meraih ilmunya. Namun amat disayangkan,
ketika seorang anak tetap lalai dan tidak mau berusaha walau berkali-kali
dirangkul oleh gurunya, guru dijadikan tersangka pertama dalam kegagalan ini.
Mungkin mereka lupa, bahwa masih ada kesadaran diri sendiri, orang tua,
saudara, teman-teman, dan juga lingkungan yang turut berperan penting dalam
kesuksesan seseorang. Jelas semuanya berperan, tidak hanya terfokus pada guru
dan sekolah saja.
Hal
yang selama ini dilupakan adalah bahwa guru juga hanyalah manusia biasa. Guru
tidak dapat merubah segala sesuatunya hanya dengan simsalabim, demikian pula
dengan kesuksesan si anak. Try out telah dilakukan berulang-ulang, soal-soal
latihan telah dikerjakan bersama, motivasi dan dorongan terus dilakukan,
transfer ilmu dengan berbagai materi dan praktek juga dilakukan. Namun tetap guru menjadi tersangka kegagalan
si anak tanpa melihat pada aspek lainnya.
Masalah
ini tidak akan selesai jika kita hanya melihat dari sisi negatif dan hanya
mampu menyalahkan tanpa melihat unsur-unsur positif. Alangkah lebih bijaknya
jika kita sama-sama kembali terus mempersiapkan diri dan mengingat kembali
setiap petuah yang telah diberikan. Tidak menyia-nyiakan berhari-hari yang
masih bisa dilalui sebelum menghadapi UN, karena setiap pihak bertanggung jawab
dalam hal ini. Pemerintah, sekolah, keluarga, dan kesadaran diri sangat
menentukan kemajuan dan kesuksesan tujuan sistem yang sudah ditetapkan.
Hal
lain yang masih menjadi penghambat yaitu skill. Jika kita menekankan seseorang
harus bisa terhadap hal yang tidak disukainya, akan menyulitkan anak tersebut
menguasai pelajaran tersebut. Sebagai solusi, kita lihat pendidikan di beberapa
negara luar yang lebih mengutamakan skill dari pada ijazah sehingga si anak sejak
dini telah memperoleh pendidikan untuk mengembangkan bakatnya serta dapat
sukses sesuai kemampuan dan minatnya sendiri tanpa tekanan, ketakutan, dan
paksaan. Jadi, jika kita tidak mampu menolak sistem yang telah ditetapkan,
marilah kita membantu menciptakan kesuksesan tujuan pendidikan itu sendiri demi
meningkatkan mutu generasi bangsa yang berjiwa jujur, cerdas, dan berakhlak
mulia.
Aku dan Tuhanku
Aku
dan Tuhanku
Risa Saiza
Tuhan!
Aku hilang, pendar dalam lelehan bara
Nelangsa menghujam lara dada
Tuhan!
Aku berkubang dosa , malu kumenjamahi-Mu
Masihkah Engkau sudi menatapku?
“Tidak”..
Mengapa tidak? Aku ingin kembali Tuhan..
Langkahku menuju-Mu
Jangan kau tolak
Siapa lagi yang akan menerimaku
Sedang bumi benci dipijakiku
Lalu langit tak memberiku sedikit kasih
Di tengah jagat-Mu pun kutak kuasa
merambat.
Tuhan!
Bukankah cinta-Mu sejati, kasih-Mu
abadi?
“Ya”…
Lalu? Mengapa jejak ini kau hapus dan
menutup gerbangku?
“Karena jeratmu dengan kaummu belum kau
tuntaskan..
Karena amarah dan salahmu masih menjelma
di muka dunia”
Akan kuabdikan diri Tuhanku
Panahku kan kubidik pada hati yang telah
kusakiti
Setelah itu, terimalah sujudku kembali
Aku akan memulai dari hati ke hati
Dengan mereka yang kudurhakai
Senin, 20 Mei 2013
Darah Lena
Darah Lena
“Ustazah, lihat
ni dia!”
“ Jangan nakal
Tina!”
“Ustazah, Reza
ambil-ambil buku kami.”
“ Ayo Za,
kembalikan buku Ika.”
“ Ustazah,
Wardani ganggu-ganggu.”
“ Wardani, nanti
kawannya nangis.”
Huft, kesabaranku sering sekali
terkuras menghadapi peri-peri kecilku dan putra-putra kebangganku di surau
tempatku mengajar setiap sorenya. Aku selalu menenangkan hatiku yang kerap
emosi dengan tingkah mereka melalui bahasa batinku, “ Ayolah Za, bersabarlah
sedikit lagi, bukan anak-anak namanya kalau tidak bandel, ingatkan masa kecilmu
dulu?”
Aku bergelut dengan batinku untuk
menyabarkan hatiku. Hal itulah yang mempertahankanku di sini, meski terkadang
godaan selalu mengusik mempermainkan fikiranku untuk meninggalkan mereka.
Tidak, teriak batinku saat nafsu itu kembali hadir. Bagaimana pun juga
anak-anak itu adalah penerus generasi mujahid yang harus kubina sejak dini.
Jika setiap ustazah akan melemah ketika menghadapi anak-anak nakal, siapa lagi
yang dapat membantu mereka menuju kebenaran? Maka, di sinilah tempatku bersama
keluguan-keluguan anak-anakku.
“ Ayo, sekarang
tutup Qurannya semua, kita sambung dengan belajar kitab.”
“ Ustazah, Lia
enggak bawa kitab.” Salah satu santriku ini sangat rajin melupakan kitabnya
untuk dibawa mengaji, padahal setiap pengajian selesai mereka selalu kunasehati
untuk menyiapkan perlengkapan mengaji di dalam sebuah tas khusus.
“ Ya sudah, ini
pinjam punya Ustazah dulu, sekarang semuanya buka halaman 20 ya.”
Aku melihat binar di mata mereka
setiap jadwal pulang tiba. Yah, semua anak-anak akan sangat senang bila bisa
berhenti dari rutinitas belajarnya, karena di dalam fikirannya hanya ingin
bersenang-senang.
Libur sabtu dan
minggu kumanfaatkan sebaik-baiknya, Aku benar-benar meringankan fikiranku untuk
menghadapi kembali rutinitas senin sampai jumatku, bersama kuliahku dan bersama
santri-santriku. Ketika kukembali, tak pernah kuabsen menanyakan kegiatan
liburan mereka untuk sedikit memberi kasih sayang melalui perasaan “merasa
diperhatikan”.
“ Gimana
liburannya kemarin? Menyenangkan tidak?”
“ Sangat
ustazah, Lili kemarin pergi ke Brayeun sama ummi abi, airnya deras sekali, tapi
Lili bisa berenang”.
“ Kalau Oji
kemarin bantuin mama jualan ustazah, gorengannya mama laku semua, habis dibeli
sama orang-orang”.
Kebahagiaan
selalu terpancar dari balik bola mata polos mereka, dan perhatian-perhatian
kecil itu membuat mereka merasa mendapatkan kasih sayang yang sama. Aku sering
mendengar mereka membandingkan ustazah ini dan ustazah itu hanya karena
terkadang mereka harus dimarahi karena sikapnya yang buruk, tak terkecuali aku.
Namun bagiku, memarahi tanpa mengisinya dengan cinta tidak akan membuat mereka
termotivasi untuk berubah. Namun tiga hari ini kulihat Lena selalu murung dan
tidak bersemangat seperti biasanya. Hatiku tergerak untuk mencari tahu apa yang
sedang difikirkannya. Sore itu kuberanikan diri menyapanya sepulang pengajian.
“ Lena, belum
dijemput ya?”
“ Belum
ustazah”.
“ Biar ustazah
temenin ya, ini ustazah ada kue, dimakan ya!”
“ Enggak
ustazah, makasi ya, Lena enggak lapar, enggak selera makan.”
“ Loh, kok
enggak mau? Kan ini kue kesukaannya Lena. Lena enggak selera pasti karena ada
yang dipikirin ya? Ayo, cerita sama ustazah ya biar hatinya tenang, mungkin
ustazah bisa bantu.”
Lena tidak
merespon pertanyaanku, ia kembali sibuk dengan lamunannya, wajahnya kembali
murung. Aku khawatir melihat Lena yang tidak biasanya seperti ini.
“ Kenapa sayang?
Ayo cerita, enggak apa-apa kok, ustazah janji ini bakalan jadi rahasia kita
berdua, kelingkingnya Lena mana? biar kita janji!”
Perkataanku
mulai menarik perhatiannya, Lena memberikan tangannya dan mulai mencoba
bercerita dengan takut-takut.
“ Ustazah janji
ya, jangan cerita ke siapa-siapa.”
“ Iya,ustazah
janji, kitakan friend”, kuberikan senyum simpul termanisku agar ia percaya.
“ Gini ustazah,
Lena enggak lama lagi mau meninggal, hidup Lena sedikit lagi, tapi Lena takut
nanti malaikat cabut nyawa Lena keras-keras, kan kata ustazah kalau kita
bandel-bandel nanti pas mau meninggal malaikat cabut nyawa kita kasar, Lena
belum berani ketemu malaikat ustazah, Lena masih bandel, masih suka ganggu
teman-teman, masih suka jahat sama ustazah, Lena takut dipukul sama malaikat.”
Lena
menceritakannya sambil terisak, hatiku pilu mengapa gadis sekecil ini bisa
berfikir ia akan meninggal.
“ Lena kenapa
bicara seperti itu? Memangnya apa yang membuat Lena berfikir Lena akan
meninggal?”
“ Ustazah, hari
senin kemarin pulang sekolah Lena sakit sekali perut. Sakitnya enggak seperti
biasanya, Lena seperti ingin buang air besar, tapi pas Lena ke toilet enggak
ada keluar. Terus yang keluar malah darah, di celana Lena juga banyak darah,
Lena enggak tahu kenapa bisa keluar darah padahal yang sakit perut Lena. Lena
enggak berani bilang mama, takut mama khawatir, nanti mama sedih. Jadi Lena
diam aja.”
“ Darahnya
banyak keluar sayang?”
“ Banyak
ustazah, darahnya masih keluar sampai sekarang, enggak berhenti-berhenti,
padahal sudah tiga hari. Makanya Lena takut, karena waktu Lena nonton film di
tv, kalau orang banyak keluar darah dari tubuhnya, dia bakalan meninggal”.
Aku pun tidak
bisa lagi menahan tawaku mendengar kepolosannya. Yah, usia Lena memang sudah
memasuki sembilan tahun, usia normal para wanita mengalami mentruasi
pertamanya. Namun ini sepertinya terlalu cepat untuk Lena, ia belum mengenal
menstruasi dan masalah ini malah membuatnya ketakutan.
“ Ustazah kok
ketawa? Senang ya kalau Lena meninggal?”
“ Enggak kok sayang,
siapa bilang ustazah senang? Kalau Lena enggak ada lagi ustazah bakalan
kehilangan santri ustazah yang paling imut ini. Sekarang Lena tahan darahnya
dengan apa?”
“ Dengan kain
ustazah, Lena potong baju Lena yang sudah kecil terus Lena letakkan di atas
celananya. Terus kalau sudah banyak, kainnya Lena masukkan dalam plastik, setelah
itu Lena buang.”
“ Lena sayang
sekarang dengerin ustazah ya, darah yang keluar dari Lena itu namanya darah
haid atau menstruasi. Kalau seorang wanita sudah menstruasi, itu tandanya dia
sudah dewasa, dia sudah baligh dan sudah wajib melakukan perintah Allah,
seperti shalat, puasa, dan lainnya. Nah, kalau kita sudah baligh, dosa kita
sudah kita tanggung sendiri, tidak ditanggung lagi sama orang tua. Jadi
sekarang kalau Lena buat salah, Lena tanggung sendiri dosanya. Semua wanita
akan mengalami haid seperti Lena”.
“ Jadi Lena
belum mau meninggal ya ustazah?”
“ Belum sayang,
sekarang jangan sedih lagi ya. Nanti kalau Lena pulang, Lena kasih tahu mama ya
biar dibantu sama mama buat pakai penahan darahnya, lain kali kalau ada masalah
jangan dipendam sendiri ya sayang”.
“ Horee, Lena
masih hidup, Lena masih hidup, makasi ustazah.”
Kamis, 16 Mei 2013
Ketulusanmu Menyentuh Hatiku
Ketulusanmu
Menyentuh Hatiku
Karya : Risa Saiza
Karya : Risa Saiza
Semuanya bermula karena sahabatku,
si gadis jelita bernama Rita. Rita, gadis manis yang berbudi pekerti luhur,
selaksa kelembutan kapas awan. Mungkin aku terlalu berlebihan mengumpamakannya,
tapi itulah dia. Sahabat yang selalu menyangga hidupku menuju secercah jalan
cahaya. Siang itu tiba-tiba saja Rita mengajakku menemaninya menemui kekasih
yang telah lama dicintainya dan masih dicintainya sampai kini. Tidak seperti
biasanya, Rita kali ini sangat ingin kutemani, telah kutolak menemuinya
berkali-kali dengan alasan aku sedang ingin bermalasa-malasan, tapi apa daya
keinginanku terkalahkan oleh bujuk rayunya.
“ Ayolah ra… aku balenin bakso deh
nanti, sekalian sama ice cream, nasi goreng, mie goreng, pangsit, mie caluk,
apa pun deh untuk kamu, yang penting sekarang temenin aku dulu ketemu si abang.
Plisssss…..”.
“ Aduh ta, aku akuin deh masalah
rayu merayu memang kamu jagoannya, oke aku temenin, apa sih yang gak demi kamu”,
jawabku.
“Demi aku apa demi makanan?”. Aku
hanya tertawa, karena apa yang ia katakan memang benar. Aku akan sangat rela
bangun dari tempat tidurku demi makanan-makanan itu. Begitulah aku saat itu,
sosok primadona terkece di kosku, dan sosok paling pro-aktif pula dengan
makanan-makanan yang tersebut di atas, aku rela tidak diet demi makanan itu,
lagi pula apa yang harus didietkan dengan tubuh selangsing ini, fikirku setiap
kali teman-teman menyuruhku menjaga pola makanku agar lebih terkontrol.
Dengan iming-iming makanan aku pun
segera menuntaskan pembedahan diriku menjadi wanita mempesona. Setelah mandi
dan berbenah aku berangkat menggunakan mio kesayangan Rita, siap meluncur ke
kos kekasihnya.
Sampai disana kami langsung disambit
oleh bang Riko. Disambit? Mengerikan. Kami hanya disambut dan tidak disambit.
Bang Riko menelfon temannya, menyuruhnya membeli nasi tiga bungkus untuk kami
dan beliau, memang luar biasa pasangan ini. Yang wanita mengimingiku dengan
makanan, yang lelakipun demikian, perfect hidupku didekat mereka.
Nasi yang dipesan pun tiba. Namun
aku lebih tertarik kepada yang membawakan makanannya.
“
Siapa tuh bang?”
“
Kawan abang, namanya Lutfan. Kenapa? Suka? Cerocos si abang”
“
Aduh, bukan tipe saya bang. Cuma penasaran aja tadi, mau tanya kaki abang itu
kenapa? Jalannya oleng gitu.”
“
Kecelakaan”, simple jawabannya.
“
Kenapa enggak ngebut lagi aja, kan enggak asik kalau cuma sebelah gitu yang
rusak”, cetusku tanpa unsur perasaan.
“
Jangan ngomong gitu, entar jadi suami lho” Rita pun ikut meramaikan suasana.
Seperti kebiasaanku, mengganggap
semuanya sepele dan menjadikannya lelucon. Tanpa kusadari, ternyata di luar
kamar, orang yang sedang kami bicarakan menyimak dengan baik pembicaraan kami,
ia merasakan sakit hati yang teramat sangat dengan kesadarannya ia mulai
mengumpat terhadapku.
Setelah peristiwa itu, kami tidak
pernah berjumpa lagi dengan Lutfan. Namun takdir kembali mempertemukan kami
tiga tahun kemudian. Aku kembali diajak sahabatku, namun kali ini yang mengajak
Icha. Aku menemaninya ke sebuah kantor kepolisian untuk mengurus surat-surat
kendaraan bermotornya. Aku seperti bukan diriku saat harus melihat Lutfan yang
mengurusi bagian administrasinya. Dengan hati yang terlampau gundah, aku
langsung menarik temanku pulang setelah suratnya selesai, aku terlalu gugup
sehingga lupa membayar dan mengucapkan terima kasih. Ternyata hal itu tidak
hanya sepengetahuan kami, Lutfan menelfon Riko dan membeberkan kesalahanku
sehingga aku harus meminta maaf kepadanya dan kepada Riko atas sikapku.
Beberapa minggu kemudian aku kembali
ke kantor yang sama, kali ini untuk mengurus keperluanku sendiri. Berkas yang
kumiliki harus dibubuhi tanda tangan kepala bagian kantor tersebut. Tiba-tiba
Lutfan terlihat memasuki ruangan itu, langsung saja aku berterima kasih dan
meminta maaf atas keteledoranku beberapa minggu yang lalu.
“
Ngapain dik?” Lutfan memulai percakapan denganku.
“Mau
urus surat bang, perlu tanda tangan kepala unitnya, lama kali datang , enggak
tanggung jawab dan enggak disiplin banget.” Aku berbicara panjang lebar.
Para wanita di kantor itu mulai
memelototiku, namun sayangnya aku tidak mengerti maksud tatapan mereka.
Kemudian Lutfan menawarkan jasa untuk menandatangani berkas tersebut, dan
dengan spontanitas yang kuat aku menolak.
“ enggak mau saya bang, rusak nanti
surat-surat saya”.
Tanpa menjawab perkataanku, Lutfan
duduk di kursi meja kerjanya dan mulai menandatangani surat-surat di atas meja
tersebut. Tubuhku rasanya melumer dan ingin meleleh saat itu juga, aku baru
tahu ternyata Lutfan adalah kepala unitnya. Rasanya ingin kutenggelamkan diri
ke dalam bumi yang kelam.
Dengan tersipu malu aku meminta
tanda tangannya, dan dengan spontanitas yang tinggi pula dia membalas
perkataanku tadi “ jangan, rusak nanti suratnya”, lalu sedikit senyum simpul
tersungging di bibirnya, sedangkan aku telah menjadi bahan tertawaan para
wanita di ruang tersebut. Gubrak!
Setelah puas mengerjaiku, Lutfan
mengambil berkasku dan menandatanganinya. Namun ternyata keisengannya tidak
berhenti sampai disitu.Dia baru mau memberikan berkasku dengan syarat aku mau
menemaninya makan. Kali ini aku tidak menolak, lumayan makan gratis. Saat
sedang asik makan, Lutfan mulai berani mengutak-atik handphoneku dan mengambil
nomorku. Sejak saat itu hubungan komunikasi kami mulai berlanjut.
“
Gimana sama mas Lutfanmu ra” tanya Rita siang itu di antara petir hujan yang
mendayu.
“
Enggak gimana-gimana, biasa aja”.
“
Biasa gimana? “
“
Ya sama kayak yang lain, kita friend. Aduh, aku laper ni ta, hujan-hujan gini
enaknya makan yang hangat-hangat nih!”.
“
Ya sudah, minta aja Lutfan bawain”
“
jiaahh… kenapa dia? Ogah aku. Mending kuminta abang-abang ganteng lainnya yang
bawain, bentar ya aku telfon banker makanan dulu,hehe.”
Aku mulai menelfon teman-teman
lelakiku satu persatu untuk kumintai tolong, kecuali Lutfan, tapi sayangnya
tidak ada yang bisa membawakanku makanan kali ini, padahal biasanya cukup dua
atau tiga orang yang kuhubungi akan langsung ada yang merespon. Tiba-tiba hpku
berdering, nama lutfan terpampang di layar hpku. Dengan malasnya aku mengangkat
telfonnya dan langsung menyambarnya.
“
Tolonglah enggak usah ganggu, lagi malas ngomong, lagi lapar”. Telfon pun
langsung kumatikan.
“
Sama siapa za? Sewot sekali kamunya”, Rita kembali membuyarkan emosiku.
“
Lutfan tu, orang lagi lapar pake acara telfon segala, udah enggak ada yang bisa
diminta bawain makanan lagi”.
“
Kenapa enggak minta sama bang Lutfannya aja? Kan dia telfon tadi’.
“
Ogah aku minta sama dia, pokoknya sekarang siapapun yang antarin aku makanan
saat ini juga, dialah yang bakalan menjadi suamiku”. Kelaparan benar-benar
membuatku frustasi sampai berkata yang tidak kusadari efeknya.
Rita hanya tersenyum melihat
tingkahku yang seperti orang kalap. Beberapa menit kemudian Lutfan datang
kerumah membawakanku sebungkus nasi seafood. Ternyata ia menelfonku tadi untuk
menawarkanku makanan. Setelah mengantar makanan ia langsung pulang dan kumulai
melahapnya dengan semangat kemerdekaan. Selesai makan, Rita kembali mengoceh.
“
Ra, bang Lutfan itu suamimu”.
“
Enggak mau aku sama dia, bukan tipeku”.
“
Tapi tadi ra bilang siapa yang antar makanan saat ini juga, bakalan jadi
suamimu”.
Kata-kata Rita menyadarkan ucapanku
tadi, aku langsung mencoba memuntahkan nasi-nasi itu karena rasa ketidaksukaanku
yang teramat besar kepada Lutfan. Tapi apa boleh buat, nasi itu tidak mau lagi
keluar dan kata-kataku pun tak bisa lagi kutarik. Rita hanya geleng-geleng
kepala dan tersenyum manyun melihat reaksiku saat itu.
Suatu
malam, saat aku sedang tertidur lelap hpku berdering. Telfon dari bang Lutfan.
“
Hai dik, udah tidur ya?”
“
Iya, enggak ada kerjaan lain ya selain mengganggu orang? Punya jam bung? Lihat
dong sekarang pukul berapa.”
“
Maaf dik, abang enggak bisa tidur. Hati abang enggak tenang dan enggak bisa
tidur sebelum bilang perasaan abang sama adik.”
“
Aduh bang, perasaan apalagi?”
“
Abang jatuh cinta sama adik, abang ingin memperistri adik.”
“
Bang, kalau punya cermin ngaca dulu ya, abang bukan level saya, bukan tipe
saya, kita tu jauh, berani amat Anda telfon tengah malam mengganggu saya hanya
untuk hal yang tidak penting.”
Lutfan mematikan hpnya setelah
mendengar cacianku. Namun ternyata masalah itu tidak berhenti disitu. Semua
teman-temanku memarahi sikapku yang kasar, aku yang berani menghina orang tanpa
memikirkan perasaannya. Padahal aku juga sama sepertinya, manusia yang
diciptakan dengan kelembutan kasih sayang Allah, namun mengapa aku bias
menghardik seolah aku yang paling sempurna. Penyesalan itu akhirnya timbul, aku
mulai rajin meminta maaf terhadap Lutfan walaupun terus terjadi penolakan maaf
darinya karena rasa sakit yang kututurkan. Setelah terus meminta maaf, Lutfan
menerima maafku dengan syarat aku harus menjadi pacarnya.
Pacaranku dengannya hanya sebatas
memenuhi syarat. Aku sama sekali tidak memperlakukan diri sebagai pacarnya.
Namun cintanya mulai menyentuh tanduk cintaku. Aku mulai tersentuh dengan
kesetiaannya yang selalu rela berlama-lama menungguku pulang ke rumah, padahal
aku sengaja tidak pulang karena ada dia dirumahku. Telfonnya yang tak pernah
kuangkat, dan smsnya yang sering kuabaikan pun tak membentuk secuil amarah pun
di dalam hatinya.
Lutfan benar-benar bertekad
menjadikanku istrinya, dan sepertinya aku termakan perkataanku, Allah
benar-benar ingin menunjukkan kekuasaannya padaku. Setelah tiga bulan pacaran,
aku langsung dilamar oleh Lutfan. Perasaanku mulai menyatu dengan hatinya.
Hal-hal yang dulunya kubenci darinya menjadi hal yang paling kucintai darinya.
Suamiku menyadarkanku akan hati yang hanya bisa dibolak-balik oleh Allah sang
pemberi cinta. Suamiku telah memberikan begitu banyak cinta hingga aku mampu
mengenal manivestasi cinta yang sesungguhnya, lalu siapakah aku ketika Allah
berkehendak. Aku menjadi teringat dengan salah satu sabda Rasulullah yang juga
ada di dalam firman Allah, “ Bencilah terhadap sesuatu sekedarnya saja, karena
bisa jadi kamu akan menyukainya, dan cintailah sesuatu sekedarnya saja, karena
bisa jadi kamu akan membencinya nanti”.
Langganan:
Postingan (Atom)